Restoran Bintang 6 Itu Bernama Angkringan


Gaya hidup kapitalis kian lama kian menjadi budaya hedon masyarakat urban. Budaya barat yang dulunya adalah sesuatu yang tabu kini sudah menjamur adanya. Dulu toko kelontong kini mini market, dulu pangkas rambut dipojokan pasar kini salon kecantikan, dulu warteg kini restoran cepat saji. Budaya-budaya kapitalis itu sudah terlalu jauh masuk ke dalam fenomena sosial masyarakat kita beberapa waktu belakangan ini. Namun ada satu budaya yang masih sangat melekat, masih sangat kental, selalu saya temui kemanapun saya pergi di sudut kota pelajar ini. Budaya itu sangat sederhana, hanya sebuah gerobak beratap kain terpal, cahaya remang-remang dari lampu templek atau maksimal bolam 5 watt, sangat sederhana. Restoran bintang 5 khas Yogyakarta itu bernama angkringan.
4 tahun saya di Jogja, ada perubahan yang saya rasakan. Budaya hidup kapitalis sudah semakin merajalela, mahasiswa sebagai kaum terpelajar yang seharusnya menjadi agen perubahan bangsa justru menjadi sasaran utama. Tidak hanya sebatas itu, masyarakat yang dulunya masih gemar berbelanja di took kelontong kini juga mulai beralih ke minimarket, alasannya sederhana, tempatnya sejuk ber-AC, barang-barangnya lengkap, sehingga nyaman untuk dikunjungi sekedar tempat untuk berbelanja.
Namun ditengah gerusan kapitalis itu, salah satu budaya yang tak pernah berkurang adalah angkringan. Warung gerobak sederhana dipinggir jalan itu tetap menjadi favorit. Seberapapun banyak restoran modern, angkringan tetap mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat. Dari bapak-bapak yang sekedar bergurau dan bertukar pikiran, mahasiswa yang berkantong pas-pasan, kadang sampai anak-anak yang menggemari makanan yang ada di angkringan. Menunya pun sangat sederhana, nasi kucing, gorengan, sate, ceker, kepala ayam, krupuk, dan kacang seakan menjadi menu lengkap yang harus dipenuhi. Ditemani dengan es teh, es jeruk, coffemix, jahe, maupun susu. Kesederhanaan yang sangat bersahaja. Belum lagi ditambah dengan suasana cahaya remang-remang, romantika bintang 5 dipinggir jalan. Sungguh, suasana restoran yang belum pernah saya temukan dimanapun sebelum menjadi perantauan di kota pelajar ini.
Suasana warung gerobak yang beratapkan kain terpal itu memang tiada duanya. Saya belum pernah mendapati tempat makan senikmat itu. Kemewahan yang terbungkus dalam kesederhanaan, bintang 5 dipinggir jalan. Harganya yang bersahabat mungkin juga menjadi alasan mengapa tempat itu masih punya tempat dihati masyarakat. Bagaimana tidak, dengan uang 5000 perak saja sudah dijamin kita akan pulang dengan perut kenyang. Dari sisi kehidupan sosial, angkringan juga kadang menjadi sarana untuk bertukar informasi. Terkadang masyarakat menjadikannya tempat untuk sekedar ngobrol, ataupun membicarakan hal yang sekiranya perlu.
Kemanapun kita pergi ke sudut kota pelajar ini, kota budaya ini, kota klasik yang melankolis dalam suasana jawanya, pasti anda akan menemui restoran bintang 5 itu. Restoran pinggir jalan yang menyatukan kemewahaan dalam kesederhanaan, kesahajaan ditengah gerusan zaman. Dan tentu saja, solusi bagi mereka yang berkantong pas-pasan. Ketika anda ke Jogja sempatkanlah untuk mampir ke restoran bintang 5 itu, ah tidak, bahkan bintang 6. Restoran bintang 6 itu bernama Angkringan.
Jogja memang selalu istimewa :) 


Komentar