Idealis Versus Uang, Mana yang Menang?


Dunia mahasiswa bisa dibilang menjadi dunia pembelajaran pengabdian pada bangsa. Begitu banyak aktivitas yang menyita waktu padahal bukan merupakan aktivitas yang berbau akademik. Banyak mahasiswa yang memilih aktif di berbagai macam organisasi dengan dalih pengembangan softskill dan juga alasan memenuhi amanah untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Entah darimana asalnya, ketika masuk dalam kehidupan mahasiswa seakan tersuntik doktrin bahwa mahasiswa adalah aktivis, menjadi mahasiswa berarti harus siap menjadi aktivis.
Doktrin semacam itu biasanya terjadi ketika masa awal-awal memasuki dunia kampus. Ketika masa-masa transisi dari SMA ke kehidupan mahasiswa, ketika masih dalam tahap adaptasi, disinilah biasanya doktrin-doktrin semacam ini masuk. Ketika ospek misalnya, sepengalaman saya selalu ada satu materi yang berisi tentang training organisasi, semacam pembelajaran awal bagaimana dinamika kehidupan rakyat ditengah cengkeraman rezim pemerintah yang selamanya tidak akan memihak rakyat kecil. Dari sinilah kemudian muncul anggapan dalam benak setiap mahasiswa, “saya harus jadi aktivis”. Mungkin juga karena banyaknya liputan media massa mengenai dinamika kehidupan mahasiswa seperti demo, aksi, dan lain sebagainya. Tapi pertanyaannya adalah, apakah sikap idealis itu akan tetap ada dimanapun dia berada? Apakah sikap idealis itu tetap relevan dipertahankan ketika sudah tidak lagi menjadi mahasiswa?
Kita semua tahu bahwa dunia mahasiswa adalah dunia yang paling mungkin masih ‘pure’. Disini merupakan dunia yang paling mungkin bahwa setiap aktivitasnya dilakukan secara sadar, murni karena panggilan jiwa, bukan karena ada kepentingan lain. Mahasiswa dianggap sebagai seorang agent of change karena dirinya masih belum terkontaminasi oleh berbagai macam kepentingan.
Setelah dinyatakan lulus dari kampus dan bersiap menghadapi kehidupan yang sebenarnya, disinilah saat dimana benar-benar sikap idealis itu diuji. Sebab sikap idealis tentu akan mendapat banyak tantangan. Baik tantangan dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan tempat kita berpijak nanti. Faktor lingkungan mungkin akan lebih dominan, dimana biasanya faktor lingkungan menjadi faktor utama pembentukan sikap maupun karakter seseorang. Kita akan terbawa pada budaya, kebiasaan yang menganggap bahwa tidak ada gunanya bersikap idealis. Bersikap idealis sama saja menyiksa diri sendiri.
Tantangan tersebut memang realistis. Ketika memutuskan menjadi seorang idealis maka tentu kita harus melawan segala sesuatu yang bertentangan dengan prinsip kebenaran. Misalnya saja jika kita berpedoman bahwa apapun yang terjadi kita harus mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, maka adalah sebuah keharusan kita harus mau mempertaruhkan kehidupan pribadi demi kebaikan orang lain. Banyak kasus yang bisa dijadikan pelajaran, dimana jika memutuskan untuk tetap mempertahankan sikap idealis maka resiko yang harus ditanggung adalah kehidupan kita yang terancam akan luntang-lantung.
Pernah saya kenal dengan seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang pendidikan di suatu daerah terpencil. Dia adalah penggiatnya yang merupakan lulusan sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Soal kualitas orang tersebut tidak usah diragukan lagi. Dia memutuskan untuk mempertahakan sikap idealisnya dengan alasan masih sangat banyak rakyat yang membutuhkan sumbangsihnya untuk melepaskan diri dari jurang kemiskinan. Memang anggapan dia itu benar, disana masih sangat banyak anak usia sekolah dasar, bahkan lansia yang bahkan belum bisa baca tulis. Kegiatan yang dilaksanakan memang dapat dikatakan sangat bermanfaat bagi kemajuan daerah tersebut, sumbangsihnya nyata dan bermanfaat. Namun menurut saya apa yang dilakukannya tersebut membuat hidupnya susah. Dengan penghasilan yang didapat dari LSM tersebut sudah barang tentu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Jangankan untuk berumah tangga, untuk mencukupi kebutuhan pribadinya pun sudah sangat sulit. Padahal dari segi kualitas saya yakin dia mampu menghasilkan lebih dari itu, seandainya dia tidak mempertahakan sikap idealisnya itu.
Satu pelajaran lain saya pernah membaca media massa harian terkemuka di Indonesia edisi 14 tahun pasca reformasi (21 Mei 2012), ada satu artikel yang cukup mengejutkan saya. Salah seorang pentolan aktivis 1998 yang saat itu menjadi pemimpin demo besar-besaran di gedung DPR RI, saat ini menjadi koruptor. Dia mengaku kesulitan mempertahakan sikap idealisnya karena pengaruh lingkungan kerjanya tergolong kotor. Banyak rekan kerjanya yang melakukan korupsi. Alasan lain adalah jika dia tetap mempertahankan sikap idealis itu maka kehidupan keluarganya yang menjadi taruhan. Maka dipilihnya jalan pintas.
Mungkin 2 pelajaran diatas dapat dijadikan gambaran bagaimana tantangan sikap idealis ditengah kehidupan yang sebenarnya. Saat menjadi mahasiswa memang tidak ada masalah jika memutuskan untuk menjadi aktivis, sebab tidak ada tantangan, kehidupan mahasiswa bisa dibilang masih ‘pure’, segala sesuatunya natural tanpa ada pressure ataupun kepentingan dari berbagai pihak yang tidak bertanggungjawab. Sedangkan setelah lulus, masuk ke dunia kerja yang merupakan dunia yang sebenarnya yang harus dihadapi, maka disinilah tantangan itu datang. Sebab banyak kepentingan yang bermain disana. Sudah banyak praktik kotor yang memainkan peranan kita.
Bagi saya, mempertahankan sikap idealis identik dengan sikap keras kepala. Apapun yang terjadi dia akan selalu berpedoman akan kepentingan orang banyak, sehingga kehidupan pribadinya berpotensi menjadi sub prioritas. Alhasil hidupnya menjadi luntang-lantung jauh dari kesan mapan. Dari beberapa figure yang saya dapati memang seperti itu, ketika memutuskan untuk tetap mempertahankan sikap idealisnya memang kehidupan pribadinya yang menjadi taruhan.
Idealis memang  sebuah keharusan, tapi permasalahannya adalah batasan sejauh mana sikap itu harus dipertahankan, itu yang masih menjadi pertanyaan.

Komentar