Keluarga di Jogja


April 2009, sabtu pagi pasca ujian nasional disaksikan teman-teman sekelas didepan ruang kelas lusuh di pojokan samping toilet sekolah, pagi itu adalah salah satu hari besar dalam hidupku. Seorang bocah ndeso dari pelosok Bojonegoro diterima sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Jurusan Teknologi Hasil Hutan. Sontak hal ini membuat kaget teman-teman sekelas karena bocah itu dikenal sebagai pribadi yang biasa-biasa saja, jauh dari kesan pandai apalagi juara kelas. Bocah ndeso dari pelosok Bojonegoro itu senang, girang, bersyukur, dan langsung memberi tahu orangtuanya. Dialah saya.
Hampir saja jurusan ini saya lepas, alasannya sederhana yaitu karena jurusan ini bukan prioritas jurusan yang saya inginkan ketika mendaftar. Dari 3 pilihan jurusan yang disediakan, Teknologi Hasil Hutan merupakan pilihan ketiga, dibawah Farmasi dan Fisika. Saya bimbang, dilema, galau segalau-galaunya apakah jurusan ini akan saya ambil atau tidak. Terlebih karena saya juga diterima di salah satu PTN di Malang. Alasan lain adalah karena mayoritas teman-teman sekolah memilih kuliah di Surabaya atau Malang, sehingga saya merasa sendirian seandainya hidup di Jogja nanti. Berhari-hari saya berpikir, dan akhirnya saya memilih untuk mengambil jurusan ini berkat saran dari keluarga, teman, serta guru-guru di sekolah. Namun tetap saja hati saya masih belum mantab sepenuhnya. Sampai pada satu malam, handphone saya berdering karena panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Spontan langsung saya angkat.
Telepon itu berasal dari mahasiswa asal Bojonegoro yang kuliah di Jogja pula, sama seperti saya. Dia meyakinkan saya beserta suara ramai dari belakangnya. Mereka meyakinkan saya untuk menempuh kuliah di Jogja. Dan akhirnya saya pun mantab untuk melakukan daftar ulang. Sekelompok mahasiswa yang tidak saya kenal itu menyebut dirinya IMAGO, entah apa itu saya tidak begitu tau.
Saat pertama ke Jogja saya datang sendirian, tidak seperti kebanyakan anak yang diantar keluarganya. Saya datang sendirian dari Bojonegoro ke Jogja menggunakan bus. Tidak tau akan seperti apa nasib saya di Jogja. Tidak punya keluarga disana, tidak punya kenalan, tidak punya siapa-siapa. Bekal saya hanya nomor handphone yang menelepon saya malam itu. Sampai di Jogja saya langsung menuju kampus UGM di gedung GSP untuk melakukan registrasi. Mungkin karena memang berasal dari pelosok, penampilan saya pun terlihat paling ndeso, kumel, lusuh, mencolok ditengah kerumunan calon mahasiswa lainnya. Sesampai di GSP saya tidak tahu harus kemana. Berkali-kali nomor hape itu saya panggil, sampai akhirnya muncul satu orang bernama Danang dari IMAGO. Mengantar saya registrasi, dan resmilah saya menjadi mahasiswa UGM.
Setelah pindahan, saya tinggal di sebuah kontrakan kecil ditengah ramainya Jogja. Kontrakan yang diisi teman-teman IMAGO seluruhnya, yang membuat saya terjerembab jatuh ke dalam IMAGO. Tak kuasa menolak, sampai pada akhirnya justru menjadi nyaman berada di tengah-tengahnya. Hari-hari sebagai mahasiwa saya lalui dengan partisipasi sebagai anggota IMAGO, yang kemudian saya tau bahwa IMAGO adalah Ikatan Mahasiswa Bojonegoro-Yogyakarta. Sebuah paguyuban mahasiswa asal Bojonegoro yang menempuh studi di Jogja.
Disini saya merasa begitu nyaman, entah mengapa saya seperti menemukan kehangatan keluarga. Dialektika khas jonegoroan selalu kental dipakai. Berbicara tentang daerah asal, desa maupun kecamatan seperti membawa saya berpetualang kembali ke kabupaten terpencil yang masih tertinggal itu. Kerinduan akan rumah seakan terobati sekedar dengan bercanda ataupun dolan dengan teman-teman IMAGO. Saat sedang susah pasti segera semuanya membantu, saat membutuhkan pertolongan semuanya langsung muncul. Kebersamaan yang saya rasakan memang nyata, bukan sekedar pemanis yang banyak dikumandangkan di organisasi kebanyakan. Mungkin karena rasa senasib sepenanggungan, sama-sama bocah ndeso yang sedang di perantauan, relatif jauh dari rumah sehingga menimbulkan rasa guyub saat kebersamaannya. Terlebih karena saya merasa sendiri di Jogja, sebab kebanyakan teman saya memilih kuliah di Surabaya atau Malang, semakin menambah kenyamanan saat berada ditengah teman-teman IMAGO.
Disini saya belajar seluruhnya. Organisasi kedaerahan ini ibarat kendaraan yang pas untuk berkontribusi pada bangsa, terutama daerah asal yang kebetulan memang membutuhkan kontribusi lebih untuk lebih maju dan berkembang. IMAGO menjadi sarana yang sangat ideal untuk itu. Agenda-agenda seperti tryout, brifing (pengenalan perguruan tinggi di Jogja kepada anak-anak SMA), debate contest, audiensi dengan pejabat teras pemkab, bakti sosial, dan beberapa agenda lainnya menjadi bukti nyata perjuangan IMAGO untuk Bojonegoro. Disini saya belajar menjadi mahasiswa, menyalurkan segala yang saya punya untuk daerah. Disini saya belajar berkontribusi. Sampai pada 25 maret 2011, di gedung PSPK UGM, saya terpilih dan dilantik sebagai Ketua IMAGO. Sebuah momen yang sangat tidak saya sangka, tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Benar-benar diluar perkiraan.
Bersama serdadu lainnya yang tergabung dalam kabinet ‘Solid Kontributif’ saya meneruskan perjuangan dari para pendahulu. Hari-hari pertama saya lalui dengan pikiran terombang-ambing, mau dibawa kemana organisasi ini? Apa yang harus saya lakukan? Tepatkah tanggungjawab ini dibebankan pada seorang bocah ndeso yang belum mengerti apa-apa ini? Tapi sekali lagi, dukungan, motivasi, support, dan semua yang saya terima menguatkan saya. Hingga saya mantab berdiri teguh menjadi nakhoda perahu ini. Selama menjabat sebagai ketua pun, banyak hal yang saya rasakan dan seluruhnya menjadi kenangan indah. Agenda demi agenda saya jalankan dengan rasa nyaman walaupun dibawah bayang-bayang tanggungjawab. Organisasi yang paling saya cintai ini mengajarkan banyak hal. Dari mulai kehidupan berorganisasi, berlatih kritis, kontribusi, sampai asmara. Hahaaaa….
Pernah suatu malam diadakan makrab (malam keakraban). Di forum sederhana ditengah dinginnya udara di Villa Alkindi kaliurang yang menusuk tulang itu, segalanya terasa hangat. Canda gurau yang spontan keluar, dialektika khas jonegoroan, sampai satu budaya yang selalu dipelihara (baca: pacuk2an) menjadi agenda wajib yang selalu ada. Kebersamaan itu masih membekas sampai sekarang, setiap kali mengingatnya saya masih selalu merindukan saat-saat itu. Seakan malam itu adalah salah satu malam terindah yang pernah saya lalui di Jogja.
Semuanya saya dapatkan disini. Dari dulu yang meyakinkan saya untuk kuliah di Jogja, mengantar saya sampai mendapat kost-kostan, mendidik saya menjadi pribadi tanggung dan belajar tanggungjawab, dari merubah seorang bocah ndeso menjadi seperti sekarang ini, sampai tambatan hati juga saya dapat disini (modus…..). Organisasi ini bukan organisasi biasa, tapi satu organisasi yang benar-benar mengemas organisasi dan keluarga dalam satu paket. Mungkin karena jasa-jasanya juga mengapa saya nyaman disini. IMAGO sudah mengalir dalam darah saya, sampai saat inipun saya masih cinta, hati saya masih terikat pada organisasi itu.
Mungkin tidak salah jika saya menyebut IMAGO sebagai keluarga kedua saya, keluarga yang paling menyayangi saya selama di Jogja. Dia seperti ibu yang mengasuh anaknya, memberikan hangatnya kasih sayang dan membimbing anaknya yang belum mengerti apa-apa saat ditengah perantauan. Keluarga saya di Jogja ini sudah memberikan banyak dalam kehidupan saya, selalu ada, dan akan selalu ada.
Apa yang membuat saya merasa nyaman disini? Balas jasa, kontribusi, kehangatan keluarga, belajar organisasi, belajar berpolitik, sampai tambatan hati juga saya dapatkan disini. Semuanya.

Komentar

  1. keren...sangat menginspirasi.
    Begitu lah orng yg telah terjebak cinta oleh Imago, sampai kapan pun merasa bahwa Imago telah banyak berarti dalam hidupnya, larut dalam setiap perjuangannya dan kontribusi serta dedikasi yg slalu mengalir tanpa diminta.
    Andai smua anggota memiliki cinta spt itu, maka berjuanglah mereka dg penuh totalitas, penuh keikhlasan. :-)

    BalasHapus
  2. betul, seandainya spirit semacam ini mengalir di setiap diri temen-temen, pasti kita semakin kuat, semakin solid dan segalanya akan terasa mudah...
    semoga saja yaaa

    BalasHapus

Posting Komentar