Ritual Sakral Mahasiswa Baru


Setelah dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru, setumpuk aktivitas langsung menanti calon mahasiswa baru untuk dilalui. Penyiapan berkas, registrasi ulang, upacara penerimaan, dan ritual rutin yang tidak pernah dilewatkan dari tahun ke tahun: OSPEK. Aktivitas yang disebut terakhir menggelitik benak saya untuk sekedar menuangkan opini pribadi. Ritual itu selalu dilaksanakan rutin, dengan konsep yang sama, yang sampai sekarang saya tidak tahu apa outputnya.
Mahasiswa baru yang masih polos itu dibebani dengan segala macam pernak-pernik yang tidak ada gunanya. Name tag, topi kertas bentuk kerucut, tas dari karung goni, dan bagi para mahasiswi putri diwajibkan mengepang rambut dan diikat dengan pita warna-warni. Selain itu kadang diharuskan membawa bekal-bekal nyeleneh. Sebenarnya apa tujuan dari semua itu? Apakah hanya semacam sarana tebar pesona senior pada juniornya? Atau pembalasan dendam kesumat yang terpendam?
Belum lagi dengan rutinitas yang seakan menjadi aktivitas sentral dalam pelaksanaan ospek: kekerasan visual. Panitia (kedisiplinan) membentak peserta dengan membabi buta semaunya tanpa alasan yang jelas. Tampil dengan tampang sok garang, dandanan mencolok dengan style bak preman menjadi ciri khas mereka yang ambil bagian sebagai seksi kedisiplinan. Setiap hari yang dilakukan hanya membentak dan membentak. Bahkan jika berhasil membuat mahasiswa baru menangis, histeris, ketakutan, bahkan hingga pingsan maka mereka bersorak dengan girangnya. Kalau dipikir, hampir tidak ada efek positif dari kekerasan visual ini, bahkan lebih banyak efek negatifnya. Mungkin hanya mahasiswa baru akan lebih menghargai kakak angkatannya sebagai seniornya, sehingga menjadi lebih punya rasa hormat pada kakak angkatannya. Tapi apakah dengan cara seperti ini? Sedangkan efek negatifnya jauh lebih banyak, apa saja? Tidak usah ditanya.
Konsepnya selalu sama dari tahun ke tahun seperti yang saya sebutkan diatas. Mahasiswa baru ditindas dengan segala macam kebijakan yang mereka tidak tahu kapan dibuatnya, siapa yang membuat, dan untuk apa konsep itu dibuat. Dibebani dengan segala macam pernak-pernik yang tidak ada gunanya, bekal-bekal nyeleneh, serta dibentak semaunya tanpa ada alasan yang jelas. Dengan memanfaatkan kepolosan para juniornya yang masih belum mengerti apa-apa tentang kehidupan kampus panitia dengan seenaknya membuat aturan main dan harus dipenuhi oleh mahasiswa baru. Jika tidak, sanksi yang dihadapi jelas, hukuman fisik dan sanksi moral bahwa dia akan dicap sebagai pembangkang ketika dia menjalani kehidupan kampus nantinya. Semacam teror batin. Dengan seperti itu, yang saya lihat mahasiswa baru akan selalu menurut karena ketakutannya, ketakutan yang diciptakan oleh para seniornya.
Memang dalam pelaksanaan ospek selalu ada materi yang berisi tentang dinamika kehidupan kampus mulai aktivitas akademik, organisasi, sampai aktivitas diluar kampus lainnya. Serta pemberian tugas setumpuk yang harus diselesaikan dalam waktu semalam. Disinilah satu-satunya arti positif yang saya tangkap, dimana mahasiswa baru dilatih untuk bersiap menghadapi aktivitas kampus yang pasti harus dia hadapi nantinya. Disinilah satu-satunya titik positif yang saya temui.
Tidak jelas apa output dari dilaksanakannya ospek ini. Panitia seakan hanya melanjutkan rutinitas seniornya yang sudah terlebih dahulu melaksanakan ritual tahunan ini. Setiap kali ditanya apa output dari ospek ini pasti jawabannya sama, untuk membentuk mental mahasiswa baru agar siap menjalani aktivitas kampus nantinya. Tapi mental yang mana? Padahal dengan konsep yang sama seperti diatas akan lebih banyak didapatkan efek negatif dibanding efek positifnya.
Yang menjadi masalah adalah pembuatan konsep acara yang seakan tidak ada manfaatnya diatas. Mahasiswa baru diharuskan memakai pernak-pernik tak berguna, serta kekerasan visual dengan membentak membabi buta. Jika memang tujuannya membentuk mental mahasiswa baru tentu ada cara yang lebih bijak untuk dilakukan. Cara yang lebih dewasa dan elegan yang menunjukkan identitas mahasiswa sebagaimana mestinya.
Boleh jadi pelaksanaan ospek hanya sebagai sarana untuk tebar pesona para senior kepada juniornya. Serta ajang balas dendam karena dahulunya pernah diperlakukan sama, sehingga terpendam naluri untuk membalaskan apa yang dia rasakan kepada juniornya, pembalasan dendam kesumat mungkin. Hal ini terlihat dari beberapa pengalaman pribadi yang pernah saya alami, dari beberapa teman yang pernah saya temui dan saya ajak sharing.
Beberapa kali berpartisipasi dalam pelaksanaan ospek, baik itu sebagai peserta maupun panitia, selalu muncul kebingungan besar dalam bentuk satu pertanyaan dalam benak saya: Sebenarnya apa output dari dilaksanakannya kegiatan ini? Pertanyaan yang sampai sekarang belum saya temukan jawabannya. “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tapi menindas kalau berkuasa.” Mungkin kutipan dari eyang Soe Hok Gie ini dapat menggambarkan bagaimana sesungguhnya niatan senior kepada juniornya dalam melaksanakan tugasnya sebagai panitia ospek.

Komentar