Sejatinya, 4 tahun bukanlah waktu
yang singkat dalam satu siklus perjalanan hidup. Satu periode dimana seseorang
memutuskan menjemput masa depan dengan persiapan yang lebih matang, dengan
meraih pendidikan tertinggi. Waktu dimana mental digembleng, karakter
diperkuat, dan yang pasti ilmu pengetahuan diperluas. Ya periode itu adalah
saat dimana kita menjadi mahasiswa.
Ketika pertama kali masuk tentu
sudah terbayang begitu lamanya waktu 4 tahun itu. Sudah terbayang kapan momen
saat kita memakai toga, dengan wajah haru penuh kebahagiaan bersama keluarga,
dan mendapat bunga serta ucapan selamat dari sana sini. Sudah terbayang saat
dimana kita sudah hidup mapan, bekerja dikantor ber-AC hanya dengan
ongkang-ongkang kaki diganjar gaji puluhan juta rupiah. Tentu kita semua pernah
merasakan hal ini, bukan?
Namun tidak semua berjalan sesuai
rencana. Hidup tak segampang ucapan Mario Teguh, begitu kata orang. ckckckckck
Setelah semua beban kuliah
terpenuhi, tugas, laporan, praktek, sampai KKN, ada satu masalah besar menati
dibelakang. Ada satu bongkahan batu besar yang siap membendung laju semangat. Monster
mengerikan itu bernama SKRIPSHIT. Eh, skripsi maksudnya. Satu hal yang menjadi
momok bagi setiap mahasiswa angkatan
injury time macam saya.
Oke kita mulai dari pencarian
judul. Saya yakin disetiap program studi/konsentrasi/jurusan/minat memiliki
banyak alternatif cabang ilmu. Misalnya di jurusan saya ada 6 laboratorium
dengan bidang ilmu masing-masing walaupun ujungnya tetep ketemu di 1 hal: kayu.
Banyaknya bidang penelitian ini akan membuat mahasiswa bingung bidang mana yang
akan dipilih. Sebab biasanya setiap bidang mempunyai kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Entah itu waktu penelitiannya lebih cepat, dosen yang pro-mahasiswa,
atau biaya penelitian yang gak mahal-mahal amat.
Lanjut ke usulan penelitian. Di
jurusan saya biasa disebut dengan proposal judul penelitian. Belum juga kita
membuat draft skripsi, apalagi sidang pendadaran, kita sudah didzolimi dengan diwajibkan
membuat proposal judul penelitian. Walaupun titelnya hanya proposal, saya
sampai 4 kali revisi karena saran dan coretan dari Bapak-Ibu dosen tercinta.
Selanjutnya pengambilan data. Ada
bermacam-macam metode dalam pengambilan data. Dan menurut saya yang paling
mudah adalah sosial, yaitu dengan membuat kuisioner, wawancara, dan semacamnya
yang tidak membutuhkan waktu terlalu banyak. Jika tidak salah metode ini
disebut dengan kualitatif. Yang menyedihkan adalah pengambilan data lewat
penelitian laboratorium macam saya. Waktunya panjang, tiap hari harus ke kampus
berangkat pagi pulang sore. Saya butuh waktu 10 bulan untuk selesai hanya untuk
data. Luar biasa bukan?
Dan inilah step yang paling
berat. Tak lain tak bukan dialah revisi. Berhari-hari kita mengetik draft
dengan perjuangan pantang menyerah semangat 45. Perjuangan berat melawan rasa
malas yang datang setiap waktu. tidur hanya beberapa jam tiap hari sisanya
hanya untuk mantengin laptop. Tapi setelah semua selesai, hasilnya langsung
dicorat-coret begitu saja oleh Bapak dosen. Semua perjuangan merangkai kata
dicoret hanya karena kurang sesuai dengan pendapatnya. Ini kurang seperti ini,
yang itu kurang seperti itu. Saat sudah direvisi diganti dengan apa yang
diminta, dicari-cari kesalahan lagi lalu dicoret lagi. Belum lagi dengan
tulisan bak dokter yang hanya bisa dibaca oleh manusia-manusia langka peneliti
tulisan. Begitu sadis, membuat kontroversi hati pejuang skripsi menjadi labil
tak menentu.
Skripsi bagai monster yang siap
meluluhlantakkan mental dan semangat mahasiswa untuk menyelesaikan studinya.
Tapi tidak hanya itu yang menjadi
beban pikiran menjelang kelulusan.
Beban yang tak kalah besar adalah
bagaimana kehidupan kita pasca kelulusan nantinya. Akan sangat berat jika kita
menyandang predikat pengangguran, terlebih jika kita lulusan salah satu PTN
terbaik di negeri ini. Akan bekerja dimana nantinya, hidup seperti apa kita
nantinya, membuat seakan tidak rela menanggalkan predikat mahasiswa yang
hidupnya serba kecukupan ditengah banyak kekurangan dan kesederhanaan. Hanya
dengan berpangku kepala diperantauan rekening sudah otomatis terisi tiap
bulannya. Belum adanya beban untuk mencari penghasilan membuat jiwa seakan
merdeka untuk menikmati hidup. Traveling, touring, backpacker, mancal gunung,
dan sebagainya. Sedangkan saat sudah lulus nanti dan mempunyai beban tanggungan
tentu tidak akan bisa semerdeka ini lagi.
Satu lagi yang tak kalah membuat
galau. Yaitu angkat kaki dari kota perantauan sarat makna bernama Yogyakarta.
Kota pelajar, kota budaya, kota istimewa, kota yang memberikan begitu banyak
kenangan. 4 tahun hidup di kota ini membuat hati seakan terpatri disini, seakan
sudah kenal setiap sudutnya. Entah apa yang membuat berbeda dengan kota-kota
lainnya. Padahal jika dilihat secara secara singkat tidak ada yang berbeda,
tidak ada yang mencolok, Jogja sama saja dengan kota-kota lainnya. Bahkan
belakangan ini juga mulai dilanda bencana kemacetan. Tapi suasana jadulnya,
melankolisnya, Malioboronya, kratonnya, titik 0 KM nya, dinginnya Kaliurang,
elok sunset pantai-pantainya, meninggalkan kesan yang membekas parah dalam
hati. Jogja!
Kegalauan itu bukan hanya tentang
skripsi, tapi juga tentang kemerdekaan, dan juga istimewanya Jogja.
berhubung Sekar juga sudah masuk tahun terakhir, sepertinya virus itu sudah mulai menjangkitiku~ syalalala
BalasHapusiya kar, mari kita nikmati setiap prosesnya. kamu baru masuk tahun terakhir jadi masih santai, lha aku?
Hapussyemangaaattt~