Sepenggal Kisah Dibalik Pesta Demokrasi

Pesta demokrasi, begitu kebanyakan orang menyebutnya. Pesta 5 tahunan bagi rakyat Indonesia yang ke-4 pasca reformasi itu telah usai kemarin. Jutaan rakyat Indonesia berbondong-bondong datang ke TPS menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil rakyat (yang katanya) untuk Indonesia yang lebih baik. Namun tak sedikit pula yang bangga menyatakan dirinya sebagai golongan putih. Tak ada yang salah, semua benar. Setiap orang punya hak, pilihan, dan alasan atas pilihan masing-masing. Dibalik pesta demokrasi yang telah usai tersebut ternyata ada beberapa cerita yang saya temui di lapangan. Ini fakta, realita, bukan rekayasa, apalagi tipu daya.
Sehari sebelum hari pencoblosan saya sengaja pulang ke kampung halaman. Tak hanya berniat untuk mencoblos, lebih dari itu sejatinya saya ingin tahu lebih dalam akan potret sebenarnya yang terjadi di masyarakat menjelang pesta akbar 5 tahunan. Bukan potret settingan yang setiap hari banyak ditampilkan di televisi. Berikut beberapa cerita yang saya temui.

*****
Pagi hari sebelum pencoblosan sekitar jam 07.00 pagi ada simbah-simbah berjalan didepan rumah saya, mau belanja sayur ke tukang sayur keliling katanya. Simbah itu disapa oleh tetangga saya, dan saya (tidak) sengaja mendengar percakapan mereka.
Tetangga: “Ape nokndi mbah Ni?”
Simbah: “Ape belonjo nduk, ngenteni tukang sayur nok telon.”
Tetangga: “Ngko wes roh to mbah kudu milih sopo?”
Simbah: “Yo wes roh nduk, nyoblos partai nomer X jenenge sing nduwur dewe. Duite dikekno sok apan?”
Tetangga: “Wes gek bengi mbah, lha mosok njenengan urung oleh?”
Simbah: “Lho lha piye to nduk, aku urung oleh sampek saiki.”
Sabar ya Mbah Ni, semoga ‘hak’ njenengan segera dilunasi.
*****
                Pagi waktu pencoblosan sekitar pukul 09.00 saya datang ke TPS untuk mencoblos. Saya bertemu dengan bagian keamanan (linmas/hansip) yang kebetulan adalah paklek sendiri.
Saya: “Wes nyoblos urung lek?”
Paklek: “Aku ra nyoblos.”
Saya: “Lha kenek opo?”
Paklek: “Aku ra dunung, ra roh kabeh mek opo dicoblos.”
Mungkin ini salah satu alasan mengapa masih banyak masyarakat kita yang enggan menggunakan suaranya. Entah apanya yang salah, tapi inilah kenyataannya.
*****
Ada sebuah organisasi masyarakat dengan basis massa yang terbilang cukup besar di lingkungan saya, dan kebetulan sebenarnya saya juga termasuk anggota organisasi tersebut. Beberapa waktu sebelum pencoblosan, kabarnya organisasi tersebut telah sepakat untuk condong ke salah satu parpol, dan menghimbau bagi seluruh anggotanya untuk mengikuti kesepakatan yang telah dibuat. Setau saya, kesepakatan semacam ini berlaku di lingkungan lokal saja, tidak menutup kemungkinan di tempat lain akan condong ke pihak lain sesuai kepentingan dan kondisi sosial masyarakat di tempat tersebut.
Bagi setiap anggota yang bersedia mengikuti kesepakatan ini akan dijanjikan ‘imbalan’. Namun karena sedari awal saya sudah punya pilihan sendiri, saya tidak mengikuti kesepakatan itu. Setelah pencoblosan berlangsung, sampai selang beberapa waktu ternyata imbalan tersebut tak kunjung datang. Kabarnya, imbalan tersebut digelapkan oleh salah satu oknum petinggi organisasi. Duh kasian, anda kena tipu.
*****
Bapak saya adalah kader dari salah satu parpol dari belasan tahun yang lalu, maka beliau juga menjadi korlap tim sukses dari parpol tersebut pada pemilu kali ini. Kebetulan tiap parpol butuh saksi di TPS, karena terbatasnya tenaga dan kebetulan saya sedang dirumah otomatis saya juga dimintai tolong sebagai saksi di salah satu TPS. Yah, untuk pengalaman juga lah daripada nganggur, begitu saya pikir.
Tiba waktu pencoblosan, saya datang ke TPS sampai perhitungan selesai. Ada banyak saksi dari masing-masing parpol, hanya 3 parpol saja yang tidak mengirimkan saksinya. Saya sempat ngobrol dengan salah satu saksi lain, sebut saja namanya Pak Wo.
Pak Wo: “Piye mas nggonem oleh akeh to ra?”
Saya: “Yo ngeneki pak, mung oleh sakmene, tapi wes akeh iki maeng tak kiro malah ra bakal oleh blas. Nggone njenengan apik kuwi iso oleh akeh tenan.” (parpol saya maupun Pak Wo merupakan parpol dengan basis massa kecil di lingkungan kami).
Pak Wo: “Yo jelas. Caleg sing iki marai wes nduwe jeneng mas, sering ngekeki ceramah nok kene dadi wong-wong wes podo kenal. Lha nek sing iki sangune 15ewu.”
Saya: “Iyo pak nek caleg sing kuwi aku yo weruh, aku yo pernah melok pengajiane je. Lha nek sing sijine jebule enek bom’e to, makane kok iso oleh akeh.”
Ternyata eh ternyata, politik uang masih tumbuh subur di masyarakat kita.
*****
Sampai setidaknya 2 hari pasca pencoblosan, pembicaraan seputar pemilu legislatif masih menjadi trending topic di seluruh warung kopi di desa saya. Mulai membahas tentang jagoannya yang lolos kursi DPRD/DPR atau gagal, peta kekuatan dan persebaran suara yang masih sama dari pemilu-pemilu yang dulu, besaran bom yang ternyata berbeda-beda dari setiap calon, sampai membicarakan kemungkinan koalisi dan capres jagoan masing-masing. Memang, warung kopi selalu menjadi tempat yang sakral untuk disinggahi.
*****
Berikut beberapa fakta yang saya temui di lingkungan saya. Semua fakta, bukan rekayasa. Tidak ada maksud apa-apa dari tulisan ini, hanya ingin sharing pengalaman saja dengan rekan-rekan sekalian. Entah mau percaya atau tidak silahkan, tergantung rekan-rekan sekalian.

Mungkin ada cerita pengalaman dari rekan-rekan sekalian yang mau dibagi disini? Salam.

Komentar