Indonesia, Negerinya Bulutangkis

Ada suasana yang berbeda setiap kali turnamen bulutangkis diselenggarakan di Indonesia. Istora senayan penuh sesak, riuh suara sorak sorai dan tepuk tangan penonton tak henti-hentinya, serta gegap gempita suasana menjadi pemandangan yang selalu ditemui. Yang terbaru tentu saja pagelaran BCA Indonesia Open Superseries Premier 2014 (BIO SSP 2014) yang baru saja digelar. BWF pun menobatkan BIO SSP 2014 menjadi turnamen dengan penyelenggaraan terbaik di dunia.
Ya, Indonesia memang dikenal sebagai negara yang begitu menggilai bulutangkis. Entah karena olahraga yang satu ini sudah menjadi kebanggaan bangsa sejak puluhan tahun yang lalu, atau mungkin lebih sebagai pelampiasan rasa frustasi masyarakat akan kemarau prestasi Indonesia di bidang olahraga. Memang, sejauh ini hampir tidak ada cabang olahraga yang mengharumkan nama Indonesia melebihi bulutangkis.

Pernah saya menonton turnamen bulutangkis Indonesia Grand Prix Gold 2013 di GOR Amongrogo Yogyakarta, pemandangannya pun sama, antusiasme masyarakat untuk menonton turnamen ini juga terbilang tinggi. Meskipun turnamen GPG kelasnya berada dibawah Superseries, sehingga nama-nama tenar pebulutangkis dunia urung untuk tampil disini, namun tidak menyurutkan masyarakat untuk datang langsung menyaksikan perjuangan putra-putri bangsa. Hal ini agaknya semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negerinya bulutangkis.
Sejauh ini bulutangkis adalah satu-satunya cabang olahraga yang menjadi langganan untuk mengharumkan nama merah putih di mata dunia. Hanya bulutangkis yang bisa membawa sang saka merah putih berkibar lebih tinggi dibanding bendera negara lainnya. Deretan prestasi macam Piala Thomas, Piala uber, dan Piala Sudirman yang merupakan supremasi kekuatan bulutangkis sudah berkali-kali singgah di Indonesia. Pun dengan medali emas Olimpiade, medali emas Kejuaraan Dunia, hingga All England juga sudah berkali-kali diraih oleh putra-putri bangsa.
Namun segalanya kini berubah, Indonesia tidak lagi dipandang bak seorang jawara. Kita tidak lagi mempunyai materi pemain sekelas Lim Swee King, Alan Budi Kusuma, Haryanto Arbi, Susi Susanti, Sarwendah Kusumawardhani, Chandra Wijaya, Sigit Budiarto, hingga Taufik Hidayat. Memang masih ada deretan nama top macam Hendra Setiawan dan Liliyana Natsir, namun era mereka sebentar lagi akan habis, dan sampai sekarang agaknya belum ada pemain yang dengan sekelas mereka. Hematnya, Indonesia sedang krisis potensi.
Memang belakangan kita patut berbangga sebab pasangan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir berhasil meraih gelar Kejuaraan Dunia dan All England. Namun untuk kategori turnamen beregu yang lebih membawa nama negara, kita sudah lama tidak berdaya dihadapan negara lainnya. Piala Thomas sudah tak kembali ke tanah air sejak 2002, sedangkan Piala Uber sudah tak kembali sejak 1996. Pun dengan Piala Sudirman, justru selalu gagal diraih sejak pertama kali juara tahun 1989. Entah apa yang salah sehingga membuat kita kering akan prestasi.
Ini menjadi sebuah ironi. Dengan begitu besarnya antusiasme publik terhadap cabang olahraga yang satu ini serta besarnya potensi yang kita miliki, namun tidak bisa menghadirkan prestasi. Sejarah membuktikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan kekuatan bulutangkis terkuat di dunia.  Kami rindu Piala Thomas, Piala Uber, dan Piala Sudirman kembali ke pangkuan merah putih.
Tanda tanya besar pun muncul, kapan bulutangkis Indonesia kembali ke masa kejayaannya?

Komentar