Gelaran Euro 2020 yang saat ini masih berlangsung tentu menyita perhatian pecinta sepakbola di seluruh penjuru jagat. Saat tulisan ini dibuat, kontestasi menuju tim terbaik di benua biru sudah memasuki babak perempat final. Delapan tim yang tersisa adalah Italia, Belgia, Swiss, Spanyol, Ukraina, Inggris, Republik Ceko, dan Denmark.
Melajunya tim-tim unggulan seperti Italia, Inggris, dan Spanyol tentu bukan hal yang mengejutkan. Belgia juga diatas kertas merupakan tim unggulan karena tercatat sebagai negara yang menduduki ranking 1 FIFA. Namun kehadiran Swiss, Denmark, Republik Ceko, dan Ukraina adalah persoalan lain.
Kehadiran tim-tim non unggulan ini memang selalu menjadi cerita menarik untuk disimak. Tanpa bermaksud menganggap sepele, diatas kertas keempat negara ini secara peringkat jelas masih dibawah tim-tim unggulan diatas. Kemudian kualitas liganya juga jelas jauh berbeda, yang mana biasanya kualitas liga akan berimplikasi langsung terhadap kualitas tim nasional sepakbola negaranya.
Mengabaikan sejarah bahwa Denmark dan Republik Ceko masing-masing sudah pernah menjuarai Euro, kehadiran mereka di perempat final Euro 2020 ini tetap menjadi cerita menarik.
Saya selalu tertarik dengan kiprah tim non unggulan, tim kuda hitam, tim kecil, atau apapun itu sebutannya.
Euro 2004 adalah bukti shahih bahwa mimpi tim non unggulan untuk menjadi juara adalah sesuatu yang bukan mustahil untuk digapai. Yunani dengan bantuan sihir para dewanya membuktikan itu. Saat itu saya masih SMP, namun ingatan saya akan perjalanan Yunani menghabisi tim-tim unggulan masih terekam sangat jelas di memori otak saya. Antonios Nikopolidis dengan rambut putihnya, Theodoros Zagorakis sebagai kapten tim, Giorgos Karagounis sebagai kreator serangan, dan Angelos Charisteas sebagai poacher di depan adalah nama-nama yang saya yakin akan selalu diingat oleh pecinta sepakbola.
Source : Google
Pada penyisihan grup Yunani berhasil mengangkangi Spanyol yang diperkuat Raul Gonzales, Puyol, sampai Casillas. Yunani finish sebagai runner-up dibawah Portugal.
Di babak perempat final mereka bertemu lawan tangguh, juara bertahan Prancis yang diperkuat Zidane, Henry, Makelele, sampai Barthez. Namun gol tunggal Charisteas membawa Yunani ke semifinal.
Lawan di semifinal adalah Republik Ceko yang diperkuat Jan Koller dan Milan Baros. Tandukan Traianos Dellas yang gagal dihalau Petr Cech di babak extra time membawa kisah dongeng ini berlanjut.
Final mempertemukan mereka dengan tuan rumah Portugal. Luis Figo, Deco, dan si mesin Cristiano Ronaldo tentu ingin mengangkat trofi di depan publik sendiri. Namun lagi-lagi sihir para dewa Yunani tampaknya terlalu kuat untuk dikalahkan. Charisteas kembali menjadi pahlawan dengan tandukannya memanfaatkan sepak pojok Angelos Basinas.
Keberhasilan Yunani menjuarai Euro edisi 2004 ini tentu menjadi cerita yang masih menarik dikenang hingga saat ini. Bagaimana tidak, dari tim yang awalnya sama sekali tidak diperhitungkan kemudian berhasil keluar menjadi juara. Saya pun waktu itu ikut bersorak bahagia akan hal ini.
Sebenarnya cerita serupa pernah terjadi pada Euro 1992 saat tim dinamit Denmark tampil meledak-ledak dan menjadi juara. Namun saat itu saya masih berada dalam gendongan ibu saya, sehingga belum bisa menyimak kisah legendaris ledakan tim dinamit ini.
Namun kesamaan dari kedua cerita ini adalah keberhasilan tim ‘nothing’ yang kemudian menjadi ‘something’. Kisah indah yang sebelumnya hanya ada dalam deongeng berhasil dibuktikan oleh Yunani dan Denmark. Sejarah telah mencatat bahwa Yunani dan Denmark pernah menghancurkan kekuatan tim-tim unggulan dengan semangat juangnya. Barangkali Zeus, Poseidon, Hades dan kawan-kawannya menjelma dalam diri 11 pemain Yunani yang tampil heroik pada 2004 itu.
Sisi menarik dari keberhasilan tim non unggulan menjadi juara ini adalah catatan sejarah. Akan sangat biasa jika sejarah mencatat Jerman, Italia, atau Prancis menjuarai Euro, atau Brazil dan Argentina menjuarai World Cup. Tapi ceritanya jelas akan berbeda jika sejarah mencatat Yunani, Denmark, Swiss, atau Ukraina yang menjadi juara.
Melenceng sedikit, untuk level klub cerita Leicester City musim 2016 mungkin bisa jadi contoh. Bagaimana seluruh dunia merayakan keberhasilan mereka menjungkalkan tim dengan duit tak terbatas dalam wujud Man City, serta tim-tim historis lainnya seperti Liverpool, MU, dan Chelsea.
Namun tentu saja apa yang saya tulis disini murni merupakan selera, opini pribadi saya yang wajar jika anda tidak sepakat.
Saya tentu berharap kisah tim-tim non unggulan ini juga akan muncul di Euro 2020. Kejutan itu masih sangat mungkin terjadi mengingat masih ada Swiss, Denmark, Republik Ceko, dan Ukraina di perempat final. Kita semua tentu tahu bahwa peluang keempat negara ini tentu sangat kecil untuk mengandaskan Italia, Belgia, Spanyol, dan Inggris. Tapi tetap saja tidak ada salahnya berharap akan ada kejutan, bukan.
Secara khusus saya menjagokan Denmark di gelaran Euro 2020 kali ini. Sejak awal turnamen saya tidak pernah melewatkan satupun match Denmark. Kehadiran pemain-pemain ‘nothing’ yang kemudian menjadi ‘something’ menjadi alasan kuat saya. Mereka adalah Simon Kjaer yang merupakan komandan pertahanan Milan, Andreas Christensen, dan Kasper Schmeichel. Plus tentu saja Martin Braithwaite, poacher idola saya yang saya harapkan suatu saat nanti bisa mengenakan nomor punggung 9 di Milan.
Gelaran Euro 2020 masih berlangsung, mari kita semua menjadi saksi siapa yang nantinya akan keluar menjadi yang terbaik di benua biru.
Komentar
Posting Komentar